Hari ini, Senin, seperti biasa saya sudah duduk di depan komputer sejak jam tujuh pagi. Usai ngedit artikel dari reporter yang masuk shift pagi, saya baca-baca juga artikel dari media lain. Kemudian saya menemukan artikel tentang bahaya menggelitik anak-anak. Meski terdengar sepele, tapi saya langsung tertarik dong untuk membacanya. Secara, sejak punya anak, menggelitik jadi salah satu 'kebiasaan' yang sering saya lakukan sebagai orangtua. Saya menyukai kebiasaan ini, apalagi melihat reaksi anak yang selalu tertawa karena gelitikan.
Bagi anak-anak, terutama yang gampang merasa geli, biasanya sih nggak bakal berhenti tertawa ketika digelitik, bahkan jika mereka sebenarnya membenci gelitikan. Tawa secara spontan tersebut ternyata bikin orang tua beranggapan bahwa anak-anak sangat menikmatinya, padahal ya sebenarnya nggak juga. Menurut penelitian yang dilakukan di University of California pada tahun 1997, para ilmuwan menemukan bahwa menggelitik tidak menciptakan perasaan bahagia yang sama seperti yang diciptakan ketika seseorang menertawakan lelucon. Nah lho!
Anak yang digelitik bisa kehilangan kontrol diri dan perjuangan untuk mendapatkan kendali bisa jadi hal yang memalukan bagi anak-anak. Akibatnya kenangan yang nggak menyenangkan tentang momen tersebut akan tersimpan seumur hidup. Waduh sebegitunya ya ternyata dampaknya? Padahal kan saat orang dewasa atau orangtua menggelitik anak-anak kan maksudunya pasti untuk bersenang-senang. Tapi menurut Dr. Richard Alexander, Profesor Biologi Evolusi di University of Michigan, menggelitik bisa menjadi bentuk dominasi dan tawa yang mengikuti adalah cara untuk menunjukkan kepatuhan.
Selain fakta tersebut, saya juga menemukan informasi lain bahwa ternyata menggelitik telah digunakan sebagai cara penyiksaan sejak dahulu kala. Selama Dinasti Han di Tiongkok, menggelitik adalah cara menyiksa kaum bangsawan karena tidak meninggalkan bekas dan korban bisa pulih dengan mudah dan cepat. Cara ini ternyata juga berlaku di Jepang, di mana mereka bahkan menciptakan kata khusus untuk itu yakni kusuguri-zeme yang berarti "gelitik tanpa ampun."
Vernon R. Wiehe dari University of Kentucky mempelajari 150 orang dewasa yang dilecehkan oleh saudara mereka selama masa kanak-kanak. Banyak dari subyek penelitian melaporkan bahwa menggelitik termasuk sebagai jenis pelecehan fisik. Studi tersebut menyimpulkan bahwa menggelitik dapat memicu reaksi fisiologis ekstrem pada korban, seperti muntah dan kehilangan kesadaran karena ketidakmampuan untuk bernapas.
Selain itu, menggelitik juga dapat menyebabkan tawa yang tak terkendali dan sulit untuk dihentikan. Tawa yang disebabkan gelitik secara terus-menerus dapat mencapai titik di mana orang yang digelitik tidak dapat bernapas dengan benar. Sesuatu yang dimulai sebagai 'kesenangan' dapat menyebabkan komplikasi medius yang serius. Bahkan menurut Dr. Alexander, menggelitik sebenarnya dapat menyebabkan sakit mental yang hebat. Kadang-kadang rasa sakit ini bisa bertahan seumur hidup.
Usai membaca penjelasan di atas, jujur bikin saya terkejut sih, karena benar-benar nggak nyangka dampak dari perilaku sederhana seperti menggelitik terhadap kesehatan fisik dan mental anak. Lantas apa sikap saya selanjutnya? Meski saya sudah mengetahui dampaknya, tapi terus nggak membuat saya lantas 'membenci' kebiasaan ini sih. Apalagi persoalan menggelitk bayi ini masih menjadi perdebatan antara para ilmuwan maupun dokter anak. Jadi seterusnya saya akan bersikap sewajarnya saja, nggak berlebihan. Kalau memang ingin dan harus menggelitik anak ya dilakukan dengan melihat responsnya. Apakah memang ia senang atau justru sebaliknya?
Kalau menurut teman-teman gimana tentang menggelitik? Apakah selama ini benar-benar menikmatinya atau malah membencinya?
Ok, saya lanjut kerja lagi yaa. Sekian postingan blog kali ini. Meski singkat tapi semoga bermanfaat.
Selamat hari Senin, semoga harimu menyenangkan :)